BEHIND THE BLOODY SEPTEMBER 1965
(Nukilan dari buku Soebandrio: “Kesaksianku Tentang G-30-S”)
SUARANYA bergetar. Matanya basah berkaca-kaca. “Pak Ban, selamat tinggal. Jangan sedih. Empat hari lagi kita bertemu.” Kata Letnan Kolonel Untung, telunjuknya menunjuk ke langit. Lalu keduanya diam. Suasana hening. Dari jarak agak jauh para sipir penjara dan tentera-tentara berwajah angker mengawasi mereka.
Menjelang senja hari itu Untung dijemput dari selnya, dan diberitahu eksekusi terhadapnya akan dilaksanakan. Soebandrio terkesiap. Karena ia pun telah diberitahu akan mendapat gilirannya, empat hari berikut sesudah Untung.
Demikianlah Soebandrio melukiskan perpisahannya dengan Untung pada akhir 1965, seperti tertulis dalam memoarnya “Kesaksianku Tentang G-30-S” (KTG). Kedua mereka memang pernah menjadi sesama penghuni LP Cimahi Bandung, sama-sama dituduh terlibat G-30-S, dan sama-sama dijatuhi hukuman mati.
Untung berjalan tegap menuju pintu gerbang, meninggalkan penjara Cimahi. Mungkin rasa gundah telah pupus dari hatinya. Karena tahu, mimpi hidup sudah sirna. Ia tinggal pasrah.
“Saya kemudian mendengar, Untung telah dieksekusi di sebuah desa di luar kota Bandung.” Kata Soebandrio merenung.
Sejak itu ia sendiri gelisah. Ajal akan datang dalam empat hari lagi! Tetapi sebuah keajaiban telah terjadi. Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris Elizabeth, mengirim kawat kepada Presiden Suharto. Mereka minta agar hukuman mati terhadap Soebandrio tidak dilaksanakan. Belakangan keputusan hukuman mati atas Soebandrio diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup. Hukuman seumur hidup ini pun akhirnya batal, karena pada 16 Agustus 1995 ia telah dibebaskan.
Sebelum Untung dieksekusi dan masih sama-sama di LP Cimahi, kepada Soebandrio ia sering menegaskan, mustahil Suharto akan tega mengkhianatinya. “Sebab”, kata Soebandrio, “Untung sahabat Suharto, dan Suharto pun mengetahui rencana G-30-S itu.” Selain terhadap Untung, Suharto juga tidak mungkin akan mengkhianati Kolonel Abdul Latief. Untung dan Latief, kedua mereka anak buah Suharto ketika ia menjabat Panglima Divisi “Diponegoro”. Selain itu Untung, yang bertubuh agak pendek, dikenal sebagai prajurit pemberani dan tidak menyukai politik.
“Percayalah Pak Ban,” katanya suatu hari, “vonis buat saya itu hanya sandiwara.”
Setelah berpisah dari Divisi “Diponegoro” pada tahun ’50-an, Suharto dan Untung bersatu lagi. Ini terjadi tahun 1962 dalam kampanye merebut kembali Irian Barat. Suharto Panglima Komando “Mandala”, dan Untung memimpin pasukan di garis depan. Untung dan pasukannya terkenal gagah berani bertempur di hutan belantara Kaimana, sehingga karenanya pula belakangan Soekarno merekrut Untung menjadi salah sorang Komandan Batalyon Kawal Istana, “Cakrabirawa”. Suharto sendiri kemudian menjadi Panglima Kostrad.
Ketika konflik antara Soekarno dan PKI di satu pihak, dengan elite AD di lain pihak semakin meningkat, posisi Untung menjadi strategis. Suharto mulai mendekati Untung, dan berusaha menarik ke pihaknya. Akhir 1964, ketika Untung menikah di Kebumen Jawa Tengah, Suharto dan istri sengaja datang menghadiri.
Selain Untung, Suharto juga membina Latief, yang saat itu menjadi Komandan Brigade Infantri I Jaya Sakti, Kodam Jaya. Tapi berbeda dengan Untung, yang bawahan semata, Latief ini menggenggam rahasia Suharto. Yaitu dalam hubungan dengan “Serangan Oemoem” 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang dikenal sebagai “Operasi Janur Kuning” itu. Rahasia itu bukan masalah ide siapa, “SO 1 Maret” itu. Sudah diketahui umum, dan sudah pula ditulis di banyak buku, bahwa “SO 1 Maret” adalah gagasan Sultan Hamengkubuwono IX. Tapi yang menjadi soal rahasia dalam hubungan Latief - Suharto, yaitu ketika pasukan Latief dalam keadaan kocar-kacir digempur Belanda — dua belas anggota pasukan terluka, dua gugur, dan lima puluh pemuda gerilyawan tewas — sehingga terpaksa mundur ke Pangkalan Kuncen, Latief bertemu Suharto di garis belakang. Di situ dijumpainya Suharto sedang makan soto babat dengan santainya. Padahal perang sedang sengit dan ribuan tentara menyabung nyawa.
Suharto berusaha merangkul Latief. Bersama Tien, istrinya, Suharto mengunjungi keluarga Latief, ketika punya hajat khitanan anaknya.
“Saya menilai Suharto mendekati Latief dalam upaya sedia payung sebelum hujan,” tutur Soebandrio.
Targetnya?
“Jelas menuju istana,” kata Soebandrio.
Suharto juga berusaha menarik Brigjen Soepardjo dari Divisi Siliwangi menjadi Pangkopur II. Betul saja. Ketika suhu politik memanas pada pertengahan September 1965 di Jakarta, Latief melapor pada Suharto tentang isu Dewan Jenderal yang akan mengkup Presiden Soekarno. Hampir bersamaan dengan waktu itu, 15 September 1965, Untung juga melapor pada Suharto tentang soal yang sama. Malah Untung mengajukan gagasannya untuk menangkap para anggota Dewan Jenderal, sebelum mereka sempat melancarkan gerakan kudeta itu.
“Bagus kalau kamu punya rencana begitu. Sikat saja, jangan ragu-ragu,” kata Suharto. “Kalau perlu bantuan pasukan, akan saya bantu,” lanjutnya pula.
Untung gembira.
“Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.” Suharto meyakinkan (KTG, hal. 49).
Atas perintah Soeharto, beberapa batalyon tentara dari daerah memang datang ke Jakarta, secara bertahap sejak 26 September 1965. “Jelas pasukan ini didatangkan untuk menggempur Dewan Jenderal.” Kata Soebandrio.
Tapi setelah G-30-S meletus, Suharto segera berbalik gagang. Digempurnya pelaku G-30-S tanpa ampun, dan dituduhnya gerakan itu sebagai didalangi PKI. Padahal, dua hari sebelum 1 Oktober, Latief kembali melaporkan soal rencana kudeta Dewan Jenderal kepada Suharto. Termasuk rencana penculikan terhadap beberapa jenderal.
“Reaksi Suharto?”
“Dia tidak bereaksi”, kata Latief dalam pengakuannya kepada Soebandrio.
Latief juga bertemu Suharto pada 30 September 1965 menjelang tengah malam di RSPAD “Gatot Subroto”, ketika Suharto sedang menunggui anaknya, Hutomo Mandala Putra, yang ketumpahan sup panas. Saat itu Latief melaporkan rencana penculikan beberapa jenderal, yang akan dilaksanakan menjelang subuh. Itu juga tidak ditanggapi Suharto.
“Setelah Latief bertemu Suharto, ia lantas menemui Soepardjo dan Untung. Latief dengan berseri-seri melaporkan bahwa Suharto berada di belakang mereka” (KTG hal. 52).
Prolog G-30-S
Soebandrio memulai KTG dengan menguraikan konflik kalangan elite politik di ibukota pada paroh pertama 1960-an. Pertama-tama disebutnya tentang kebencian Amerika Serikat (AS) terhadap RI, karena PKI merupakan partai legal dan dibiarkan bergerak leluasa di Indonesia. Ketika AS sampai menghentikan bantuannya, Bung Karno di depan rapat umum justru menjawab lantang: “Go to hell with your aid! Ini dadaku mana dadamu!”.
Menghadapi situasi demikian diam-diam AS menggalang hubungan dengan faksi-faksi militer di tubuh ABRI. Saat itu ada tiga kubu politik di Indonesia. Pertama, Bung Karno yang didukung para menteri Kabinet Dwikora. Kedua, kubu TNI yang terpecah dalam faksi Letjen TNI AH Nasution dan faksi Letjen TNI Ahmad Yani. Suharto, semula termasuk kubu Nasution, tapi belakangan membangun kubunya sendiri. “CIA berada di belakang kubu Nasution,” tutur Soebandrio.
Soekarno, yang menyadari adanya faksi-faksi itu, lalu membatasi peranan Nasution. Meski Nasution tetap sebagai Kastaf ABRI, tapi Soekarno menugasi Menpangad A.Yani agar membatasi gerak Nasution. Akibatnya hubungan Yani-Nasution memburuk. Nasution malah digeser “naik”, menjadi penasihat presiden pada 1963.
Kubu ketiga ialah PKI dengan tiga juta orang anggota dan didukung 17 juta anggota ormas-ormasnya, seperti BTI, SOBSI, Pemuda Rakyat, dan Gerwani. Ketua CC PKI D.N. Aidit ketika itu Menko Wakil Ketua MPRS.
Suharto merasa terjepit di antara kubu Nasution dan kubu Yani. Ini disebabkan oleh karena dengan dua atasannya itu ia menyimpan kisah yang tidak menyenangkan. Seperti dituturkan Soebandrio juga, Suharto pernah tersiar sebagai penyelundup beras. Dalam hal ini ia bekerja sama dengan Liem Sioe Liong dan Bob Hasan. Konon karenanya Yani bahkan pernah menempeleng Suharto. Sedang Nasution mengusulkan, agar Suharto diseret ke pengadilan. Tapi atas usul Mayjen Gatot Subroto, Suharto diampuni dan disekolahkan ke Seskoad.
Ketika kepercayaan AS kepada Nasution meluntur — karena PKI ternyata semakin merajalela — Suharto mulai bermain. Dipanggilnya Yoga Sugama, ketika itu Dubes RI di Beograd Yugoslavia, diangkat menjadi Kepala Intelijen Kostrad (Februari 1965). Muncullah trio Suharto, Ali Moertopo dan Yoga, yang bertujuan menyabot langkah-langkah politik Presiden Soekarno, dan untuk menghancurkan PKI.
Suharto, Yoga dan Ali memang sudah lama saling berteman, yaitu ketika mereka masih di Kodam “Diponegoro”. Menurut Soebandrio, dalam percobaan kudeta 3 Juli 1946, yang dilancarkan Tan Malaka dan Partai Murba terhadap Perdana Menteri Sjahrir, Suharto yang ikut berkomplot tiba-tiba berbalik. Ditangkapnyalah penculik Sjahrir. “Ia selalu bermuka dua,” tutur Soebandrio. Taktik busuk itu juga yang ditempuh Suharto dalam G-30-S.
Melancarkan desas-desus
Ada peristiwa kecil yang dibesar-besarkan oleh faksi Suharto. Yaitu isu tentang Bung Karno sakit keras pada awal Agustus 1965, sehingga Aidit harus mendatangkan dokter ahli dari RRT. Desas-desus ini ditambah, akibat penyakitnya itu Bung Karno bisa meninggal, atau jika selamat, setidaknya menjadi lumpuh.
Peristiwa rekayasa itu lalu dianalisis. PKI, yang “yo sanak yo kadang” bagi Bung Karno, pasti akan menjadi khawatir kalau pimpinan nasional sampai jatuh ke tangan TNI AD. Menurut analisis ini, PKI lalu menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Begitulah, maka akhirnya yang terjadi ialah “G-30-S/PKI”.
Menurut Soebandrio analisis tersebut rekayasa murni kubu Suharto. Sebenarnya baik Soebandrio (ketika itu Waperdam I) maupun Leimena (ketika itu Waperdam II), cukup tahu tentang penyakit Bung Karno. “Jangan lupa, saya dan Leimena adalah dokter.” Kata Soebandrio. “Ternyata yang disebut sebagai dokter dari RRC itu tak lain dokter Cina dari Kebayoran Baru Jakarta yang dibawa Aidit. Eh, setelah diperiksa, sakit Bung Karno cuma masuk angin saja!”
Ketika Kamaruzaman alias Syam diadili, ia memperkuat dongeng Suharto itu. Syam adalah Kepala Biro Khusus CC PKI, sekaligus perwira intel TNI-AD. Syam mengaku diberitahu Aidit soal sakitnya Bung Karno, dan kemungkinan Dewan Jenderal bertindak kalau Bung Karno meninggal. Karena itu, kata Syam, Aidit lalu memerintahkan untuk mempersiapkan gerakan.
Kini saya katakan, cerita sakitnya Bung Karno itu tidak benar,” tulis Soebandrio. Soebandrio mengurai: mengapa PKI harus menyiapkan gerakan, pada saat mereka disayangi Bung Karno yang segar-bugar?
Jadi inti desas-desus ini, menurut Soebandrio, kubu Suharto melontarkan provokasi agar PKI terpancing mendahului memukul AD. Jika PKI memukul AD, PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian. Sebab, AD akan menyerang PKI, namun seolah-olah hanya melakukan tindakan balasan. “Ini taktik AD kubu Suharto menggulung PKI.” Soebandrio menyimpulkan.
Tapi ternyata PKI tidak terpancing.
Karena itu dilancarkan provokasi berikutnya, yaitu berupa isu tentang Dewan Jenderal. Isu ini, menurut Soebandrio, dimulai dengan isu tentang rencana sumbangan persenjataan gratis dari RRT, yang akan ditampung lewat Angkatan V. Tapi senjata belum dikirim, dan Presiden Soekarno juga belum memerinci bentuk Angkatan V itu. Mengapa belum? Mungkin karena ternyata Menpangad A.Yani tidak menyetujui gagasan pembentukan Angkatan V. Apalagi pendirian Yani ini juga didukung para perwira, mereka menganggap empat angkatan sudah cukup.
Lalu berkembanglah isu tentang sekelompok perwira AD yang tak puas kepada presiden, sehingga mereka disebut sebagai “Dewan Jenderal”. Diisukan pula, Dewan Jenderal akan melakukan kup.
Rupanya Untung terpancing oleh isu terakhir ini. Ia menjadi gelisah. Ia ingin mendahului gerakan Dewan Jenderal, dengan cara menangkap mereka. Rencana itu disampaikannya kepada Suharto. Dan, seperti di atas sudah dikemukakan, Suharto mendukung dan bahkan menjanjikan bantuan pasukan dari daerah.
Ketika Soebandrio kemudian menanya Yani tentang Dewan Jenderal, yang ditanya menjawab enteng: Dewan itu memang ada. Tapi tugasnya mengatur jenjang dan kepangkatan di dalam ABRI. Bukan untuk kudeta. Belakangan, akhir September 1965, Soebandrio mendapat info dari empat orang sipil, yakni dua orang NU bernama Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution, serta dua orang IPKI, yaitu Sumantri dan Agus Herman Simatupang.
Mereka berempat menceritakan tentang adanya rapat Dewan Jenderal pada 21 September di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rekaman rapat itu pun mereka membawanya. Rekaman lalu diserahkan Soebandrio kepada Bung Karno. Tapi Soebandrio curiga, mengapa rencana yang sangat rahasia itu bisa bocor pada empat orang sipil? Soebandrio menarik kesimpulan, itu tidak lain untuk memprovokasi, dan karenanya rekaman itu palsu. “Bisa-bisa untuk mempengaruhi Untung, agar terus meyakini adanya Dewan Jenderal itu.” Kata Soebandrio.
Nyaris bersamaan waktu ketika itu beredar pula “Dokumen Gilchrist”. Ini sebuah telegram rahasia Dubes Inggris di Jakarta, Sir Andrew Gilchrist, kepada Deplu Inggris. Isinya pesan tentang dukungan Inggris terhadap usaha penggulingan Soekarno, yang akan dilakukan oleh “our local army friend”. Isu ini mendapat dasarnya yang sangat kuat, yaitu ketegangan hubungan RI-Inggris, sehubungan dengan pembentukan negara federasi “Malaysia”, yang di mata pemerintah RI dilihat sebagai “proyek nekolim” Inggris. “Battle Cry” para pemuda demonstran ketika itu sebuah lagu mars terkenal di jaman Jepang: “Awaslah Inggris dan Amerika! Musuh seluruh dunia ...”
Namun Soebandrio juga curiga, karena dokumen ini berasal dari rumah Bill Palmer, seorang Amerika yang tinggal di Jakarta, dan selama itu lebih dikenal sebagai orang yang suka mengedarkan film porno, bahkan kerap didemonstrasi ormas pemuda.
Di pihak lain Suharto juga bermain dengan isu Dewan Jenderal. Diutusnya Yoga Sugomo mendatangi Mayjen S. Parman, dengan pesan agar ia berhati-hati, karena terdengar isu akan terjadi penculikan terhadap beberapa jenderal. Ternyata Parman tidak begitu mempercayai pesan itu. Dalam penilaian Soebandrio, sebetulnya Suharto memang hanya ingin memancing reaksi Parman, tokoh yang dekat dengan Yani. Dengan reaksi Parman yang demikian, Suharto menjadi tahu tentang kelompok Yani yang sama sekali belum siap menghadapi kemungkinan terjadinya penculikan.
Puncak Provokasi
Ketika G-30-S meletus, Soebandrio sedang turba ke Medan. Ia menerima telepon Presiden pada 2 Oktober, yang memerintahkan agar segera kembali ke Jakarta. Diberitakannya tentang peristiwa hebat yang terjadi di Jakarta sehari sebelumnya. Soebandrio segera mengerahkan intel BPI (Badan Pusat Intelijen) mengumpulkan informasi.
Menurut versi Suharto, menjelang dini hari 1 Oktober 1965, ia tinggalkan anaknya Tommy di RSPAD Jakarta, dan pulang ke rumahnya di Jalan H. Agus Salim. Suharto sendiri mengendarai jip Toyota, lewat depan Markas Kostrad di Jalan Merdeka Timur. Ia mengaku di sana terasa suasana yang tidak biasa, tampak berkumpul banyak pasukan. Tapi, melihat itu, Suharto terus liwat saja tanpa hirau pada pasukan yang banyak berkumpul di Monas.
Tiba di rumah, Suharto — seperti versi yang telah banyak beredar — lalu tidur. Pagi harinya, pukul 05.30, ia mengaku dibangunkan seorang tetangga, dan diberitahu tentang penculikan beberapa jenderal. Ia lalu pergi ke Markas Kostrad.
Bagi Soebandrio, pengakuan Suharto ini luar biasa aneh. Saat Jakarta tegang, ia menyetir mobil sendirian. Di Jalan Merdeka Timur ia pun tidak ingin tahu, mengapa banyak prajurit berkumpul lewat tengah malam itu. Lalu, pagi hari pukul 05.30, siapa yang sudah tahu tentang adanya penculikan para jenderal? Saat itu, menurut Soebandrio, belum ada berita televisi menyiarkan. RRI pun baru menyiarkannya pada pukul 07.00.
Kesimpulan Soebandrio, Suharto sudah tahu mengapa pasukan itu berkumpul di Monas. Soebandrio: “Ingat, Suharto menawarkan bantuan pasukan yang diterima dengan senang hati oleh Untung.” Lagi pula, baru beberapa jam sebelumnya di RSPAD, Latief melaporkan tentang rencana penculikan itu.”
Yang sebenarnya terjadi, menurut rekonstruksi Soebandrio, dari RSPAD Suharto langsung ke Makostrad untuk memberi pengarahan operasi pengambilan para jenderal. Namun dalam perspektif Suharto, masa hidup G-30-S ditentukan oleh masa kegunaannya saja. Maka sesudah para jenderal dibantai, habislah masa kegunaan G-30-S. Meskipun Untung, Latief, dan Soepardjo berupaya ingin mempertahankan kelanggengan G-30-S, namun umurnya hanya beberapa jam saja, sesuai dengan rancangan Suharto.
Setelah itu G-30-S diburu dan dihabisi. “Dengan melikuidasi G-30-S, itu mengesankan Suharto setia kepada atasannya, Yani dan teman-temannya yang telah dibunuh oleh gerakan. Suharto tampil sebagai pahlawan,” tutur Soebandrio. Hanya beberapa jam setelah para jenderal dibunuh, sekitar pukul 11.00, 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno dari Bandara Halim mengirim radiogram ke Mabes ABRI, yang intinya semua pasukan hanya boleh bergerak atas perintah Presiden selaku Panglima Tertinggi ABRI. Juga diperintahkan agar pertumpahan darah dihentikan.
Instruksi itu ditafsirkan Suharto, bahwa gerakan Untung dan kawan-kawan yang membunuh para jenderal tidak didukung Presiden. Suharto segera menyambut Instruksi Presiden dengan memerintahkan anak buahnya untuk menangkap Untung dan kawan-kawan. Beberapa hari kemudian Aidit ditembak mati oleh Kolonel Yasir Hadibroto di Brebes Jawa Tengah. “Soeharto memang memerintahkan Aidit dihabisi. Dengan begitu, ia tidak dapat berbicara yang sebenarnya,” urai Soebandrio.
Soebandrio ingin menyangkal versi AD selama ini, bahwa peristiwa berdarah pagi buta 1 Oktober 1965 itu sebuah kudeta yang didalangi PKI. Menurut Soebandrio peristiwa itu merupakan provokasi, yang didalangi jenderal-jenderal AD dan didukung imperialis internasional, yang dilaksanakan secara licik dan efektif oleh Pangkostrad Mayjen Suharto. Esoknya, 2 Oktober, didampingi Yoga, Suharto mendatangi Bung Karno di Istana Bogor. Tujuannya menolak pengangkatan Mayjen Pranoto Reksosamodra sebagai pelaksana Menpangad, menggantikan Yani. Suharto juga minta agar ia diberi kuasa untuk memulihkan keamanan, dan agar Presiden menindak pimpinan AURI yang diduga terlibat G-30-S.
Perundingan berjalan alot selama lima jam. Akhirnya Soekarno memberikan surat kuasa seperti yang diminta Suharto. Ia menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Menurut Soebandrio inilah awal kemenangan Suharto dari seluruh rangkaian proses yang disebutnya sebagai “kudeta merangkak” itu.
Esoknya, 3 Oktober 1965, pembantaian terhadap anggota PKI, yang dituduh mendalangi G-30-S, dan keluarganya dimulai. Indonesia banjir darah. Soebandrio: “Ada yang menyebut 800.000 orang. Pernyataan Sarwo Edhie, Komandan RPKAD, malah menyebut tiga juta jiwa.”