JI = Jamaah Islamiyah = Jaringan Istana
Kelompok bayang-bayang, siluman bahkan hantu kondang. Begitulah anggapan sebagian orang terhadap Jamaah Islamiyah (JI). Anggapan ini tidak salah. Pasalnya, sosok JI memang temaram. Yang aneh, Perserikatan Bangsa-Bangsa sampai repot hingga memasukkan JI ke dalam daftar teroris internasional, seusai JI disebut-sebut terlibat serangan bom di Kuta, Bali, 12 Oktober.
Amerika, dengan semua propaganda, menggambarkan JI punya jaringan sel di Asia Tenggara. Tujuannya; mendirikan negara Islam se-Asia Tenggara. Tapi siapa pemimpin JI tidak jelas. Penasehat senior Singapura, Lee Kuan Yew, usai dapat masukkan dari intelijen Singapura, menuding Abu Bakar Ba'asyir sebagai pemimpin umum JI, meliputi Malaysia dan Singapura. Dengan mudah, pengasuh Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, membantah tudingan Lee.
Bisa ditebak sebelumnya, begitu polisi menangkap Amrozy, tuduhan JI akan segera dialamatkan pada warga Lamongan, Jawa Timur, itu. Benar. ''Amrozy bagian dari JI. Banyak orang terkait dan beserta Amrozy,'' tegas Menteri Pertahanan, Matori Abdul Jalil. Mengikuti tudingan Matori, Amrozy bagian dari JI bukan Ba'asyir. Tapi, tambahnya, Amrozy bagian JI yang didirikan kawan Ba'asyir sekaligus pemimpin Ngruki lain; (alm.) Abdullah Sungkar.
Di dalam laporan Al-Qaeda in South-east Asia: the Case of the "Ngruki Network" in Indonesia (2002) yang ditulis oleh Direktur International Crisis Group, Sidney Jones, sosok JI tergambarkan --meski menyisakan ada kesangsian. Peneliti dari Amerika Serikat itu, JI tak terlepas dari tiga peristiwa penting. Yakni, Darul Islam (DI) pimpinan Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Jawa Barat, pemberontak Kahar Muzakar di Luwu, Sulawesi Selatan dan perlawanan DI di Aceh yang memunculkan Gerakan Aceh Merdeka.
Tiga peristiwa tersebut, dalam kadar yang berbeda, mempengaruhi apa yang disebut 'Ngruki Network' (jaringan Ngruki) --pimpinan Ba'asyir dan Abdullah Sungkar. Selama satu dekade, pemerintahan RI bisa menghancurkan DI. Sidney Jones juga mengupas tentang sikap pemerintah terutama di masa rezim Presiden Soeharto dalam menghadapi gerakan bernafaskan Islam itu.
Mendekati Pemilu 1977, ditulis Sidney Jones, partai berbasis Islam (PPP) berupaya mengumpulkan kekuatan sebagai oposisi setia. Soeharto, rupanya, ketakutan. Lalu, ia mendahului untuk memiliki kemungkinan suara PPP yang besar. Almarhum Jenderal TNI Ali Moertopo, pemimpin operasi rahasia atau operasi khusus (Opsus) Soeharto, menggiatkan kembali DI. Lewat cara ini, Ali Moertopo berharap rakyat tidak ingin diidentifikasikan dengan bentuk politik Islam apapun. Untuk itulah, ia menggiatkan agen intelijen BAKIN.
Lewat intelijen BAKIN, para pejuang DI --terutama di Jawa-- dibujuk agar menghubungi teman-teman seperjuangan mereka. Rayuannya kejatuhan Vietnam Selatan menghadapkan Indonesia pada bahaya komunis. Sejumlah pimpinan DI termakan umpan Ali Moertopo. Lalu, pemerintah menahan 185 orang termasuk Ba'asyir dan Sungkar, sebagai anggota organisasi bernama; Komando Jihad.
Dalam realitanya, tulis Jones, Komando Jihad hanya ciptaan Ali Moertopo. Komando Jihad dipimpin oleh Haji Ismail Pranoto (Hispran) dan Haji Danu. Hispran disebut-sebut sebagai agen BAKIN. Di pengadilan, Haji Danu jelas mengatakan dirinya telah direkrut BAKIN untuk menjadi intel, sejak 1971. Di persidangan, muncul "Jemaah Islamiyah" (komunitas Islam). Dan istilah itu ditemukan dalam dokumen pengadilan, 1980. Jaksa penuntut menunjukkan bukti JI adalah organisasi dengan kepemimpinan yang bisa diidentifikasi.
JI yang dimaksud jaksa sebenarnya yakni JI struktural bentukan Moertopo. (Baca: Perkembangan dan Perpecahan JI Tahun 1995-2000). Pada tahun 1995, struktur kepemimpinan kubu Solo dan Kudus (Ba'asyir dan Sungkar) ke luar dari JI struktural. Mereka lalu bergabung dengan Ikhwanul Muslimin Mesir Jemaah Islamiyah. Pada tahun ini kelompok itu mengembangkan Daulah Islam Nusantara (DIN), lantas membikin Angkatan Muslim Islam Nusantara (AMIN).
Dari sinilah, muncul sosok bernama Riduan Isamuddin alias Hambali. Jones dalam laporannya menulis bahwa Hambali alias Enceng Nurjaman, diprediksi sebagai kontak utama Al-Qaeda di Indonesia. Sebenarnya, Hambali masuk ke JI nonstruktural selaku seorang intruder (penyusup). Ia disusupkan pemerintahan Soeharto lewat Opsus dengan sandi G-8. Dulunya, ada G-1, G-2, G-3 dst. Tugas Hambali; membangun struktur keuangan JI nonstruktural, mengirim anak-anak bekas JI Aceh yang berada di Malaysia sebagai Bantuan Tenaga Operasi (BTO) Jaring Merah. Mereka disusupkan ke GAM dengan cita-cita Republik Islam Aceh. Mereka dikirim untuk memicu konflik di daerah.
JI, di bawah Hambali yang terhubung dengan istana kepresidenan Soeharto, tidak lagi kependekkan dari Jamaah Islamiyah namun juga Jaringan Istana. Sumber-sumber intelijen mengatakan bahwa JI yang berarti Jaringan Istana saat ini memiliki anggota mencapai 305 orang. Jaringan Istana membangun aliansi di 10 provinsi. Keuangannya; melimpah. Setiap bulan, ada kucuran dana mencapai Rp 1,5 miliar untuk gelar operasi-operasi Jaringan Istana.
Jaringan Soeharto yang dipimpin Hambali ini melakukan latihan militer di kamp Abubakar di Filipina Selatan. Kepala Polri (Kapolri), Jenderal Pol. Da'i Bachtiar, mengatakan polisi terus mengejar Hambali. Sewaktu dikejar di Jakarta, jelas Da'i, Hambali lari ke Ambon. Dikejar ke Ambon, Hambali lari ke Poso. Waktu diburu ke Poso, Hambali terakhir dikabarkan kabur ke Pakistan. ''Saat ini, Hambali diduga ada di Aceh. Ia memimpin operasi JI dari Aceh,'' kata seorang sumber intelijen di Mabes Polri. Mau bukti, JI (Jaringan Istana) pimpinan Hambali membangun mas'ul --wilayah-- di Aceh.
Tak lama setelah bom meledak di Bali, JI pimpinan Hambali termasuk salah satu kelompok yang dicurigai oleh polisi ada di balik peledakan bom itu. Tuduhan Matori pada Amrozy sebagai bagian dari JI pimpinan Sungkar JI --yang disusupi Hambali-- benar dan Jaringan 50 terkuak, lantas ada kaitan dengan Hambali, pembaca bisa meraba sendiri, siapa di balik bom di Bali.
(tim adil)
Perkembangan & Perpecahan Jemaah Islamiyah
Masa Soekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, 1948-1962
Tahun 1953, Aceh menyatakan diri sebagai negara bagian Aceh. Tahun 1960, Kahar Muzakkar menyempal dari struktur Kartosuwirjo dan memproklamasikan diri sebagai Republik Persatuan Islam.
Masa PascaSoekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, 1962-1968
Di bawah kepemimpinan Agus Abdullah, Kadar Shalihat dan Djadja Sudjadi.
Masa PascaSoekarmadji Maridjan Kartosuwirjo, 1969-1976
Jemaah Islamiyah (JI) Fillah (nonstruktural) melakukan musyawarah dengan kubu JI struktural bentukan Jenderal TNI Ali Moertopo --pimpinan operasi rahasia atau operasi khusus (Opsus) Presiden Soeharto. Musyawarah lantas memutuskan kepemimpinan struktural diserahkan kepada Daud Bereueh, tahun 1976.
Masa Daud Bereueh, 1978-1984
Terjadi perpecahan. JI struktural dipimpin Daud Bereueh. Kubu lain yakni struktur kepemimpinan Adah Djaekani Tirtapradja. Sedang, kepemimpinan JI nonstruktural di bawah Wakil Imam. Djadja Sudjadi lantas dieksekusi Adah Djaelani tahun 1978.
Perpecahan Jemaah Islamiyah, 1995-2000
Tahun 1995, struktur kepemimpinan Solo dan Kudus (Jawa Tengah), Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir, di pengasingan (Malaysia), dan menyatakan ke luar dari struktur maupun doktrin JI struktural. Mereka lantas gabung secara metodologi pada Ikhwanul Muslimin Mesir Jamaah (Gemaat) Islamiyah pimpinan Omar Abdur Rahman.
Struktur Jalur Kepemimpinan (JK) Wilayah I memisahkan diri lalu dipimpin Aceng Kurnia dan selanjutnya dipimpin Asep (Syaiful), putra Aceng. Kini, wilayahnya melebar hingga Cirebon dan Jakarta. Lalu, struktur JK Wilayah IX dipimpin oleh Abu Toto dilegalisir Adah Djaelani dan mengklaim secara resmi sebagai pemegang kepemimpinan JI struktural. Struktur kepemimpinan Dodo-Tahmid Kartosuwirjo pada tahun 1997, berdiri sendiri lalu bergabung dengan Ajengan Masduqi tahun 1998.
Tahun 2000, para eksponen JI struktural dari berbagai jalur kepemimpinan membentuk Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) melalui Kongres Mujahidin di Yogyakarta, lantas mengangkat Abu Bakar Ba'asyir sebagai Ketua Ahlul Halli Wal Aqdi. Namun, kelompok Abdullah Sungkar yang telah menyatakan ke luar dari struktur dan doktrin JI struktural melepaskan diri atas terpilihnya serta pengangkatan Ba'asyir. Struktur pimpinan Dodo-Tahmid Kartosuwirjo, pecah lagi dari struktur Ajengan Masduqi dan menyatakan berdiri sendiri.
Tahun 2000 pula, beberapa bekas narapidana politik JI mendirikan Majelis Khilafatul Muslimin Indonesia (MKMI) lalu mengangkat Abdur Qadir Baradja sebagai pimpinan atau khalifahnya. MKMI secara organisasi telah masuk ke dalam struktur kepengurusan MMI melalui Kongres Mujahidin di Yogyakarta.
(dari berbagai sumber)