PRIVAT MILITARY CORPORATION
Udah tau tentang Allen L. Pope agen CIA (dan juga tentara bayaran) yang membantu PRRI / PERMESTA ?!?! itu memang di masa lalu, tapi ada hubungannya dengan yang ini. Baca aja kutipan literatur dibawah ini.
Katakanlah dalam 1 dasawarsa terakhir ini, tentara bayaran telah mengambil-alih tugas kemiliteran di medan pertempuran yang jauh lebih luas dan signifikan dari yang ditangani prajurit reguler biasa. Mereka tak saja mengerjakan urusan pengiriman logistik, pelatihan militer, pemeliharaan perangkat perang, tapi sudah terlibat langsung dalam pengoperasianpesawat mata-mata dan operasi serbuan bersenjata. Di antara perusahaan yang kemudian dikenal sebagai Private Military Corporation(PMC) ”Contractor” ini bahkan sudah ada yang memiliki pesawat terbang dan kendaraan tempur sendiri.
Pendapatan dari “bisnis” perang ini mencapai lebih dari 30 trilliun dollar / tahun !! Hampir 15 kali pendapatan Bill Gates yang merupakan orang terkaya di dunia, dan mereka (PMC) bisa pasang tarif 1.500 s/d 2.000 dollar/hari.
Begitu luar biasa. Tak bisa dipungkiri faktor uang lah yang membuat perusahaan ini bak jamur di musim hujan. Jika pada 1994 tercatat hanya sekitar 30 perusahaan, kini di dunia jumlahnya telah membengkak sampai ratusan. Bagai mata air, uang memang begitu deras mengalir dari kontrak-kontrak asistensi pelatihan militer dan pertikaian tak kunjung henti di berbagai negara dunia ketiga Fakta tentang ini mulai tercium publik tatkala kasus pengeboman di sebuah instalasi militer Arab Saudi pad Mei 2003 terkuak. Sepuluh dari 91 korban tewas ternyata adalah tentara bayaran asal AS.
Mereka ternyata adalah orang-orang Vinnell Corp. Vinnel adalah PMC asal AS, pemegang kontrak ratusan juta dollar AS untuk proyek pelatihan puluhan ribu pasukan pengawal kerajaan (Saudi Arabian National Guard). Di negeri minyak ini, Vinnel mempekerjakan sekitar 40.000 orang, sebagian besar adalah pensiunan tentara dan personel intel AS. ”Sebagian besar adalah mantan (anggota) special force. Maka jangan heran kalau pasukan yang kami bentuk amat handal. Buktinya mereka bisa dengan cepat menguasai Khafji begitu kota ini dikuasai Irak dalam Perang Teluk lalu,” ujar salah seorang pelatih senior Vinnel Corp.
Pers pun terpancing untuk menguak lebih jauh, dan hasilnya ternyata jauh lebih mencengangkan, Vinnel Corp. Ternyata salah satu PMC besar di AS yang pernah dipimpin langsung Frank Carlucci, Menteri Pertahanan AS semasa pemerintahan Ronald Reagan. Perusahaan ini telah bekerja untuk kerajaan Arab Saudi sejak 1975, dan baru-baru ini telah merebut kontrak senilai 48 juta dollar dari Pentagon untuk membentuk pasukan inti AB Irak. Vinnel sendiri tergolong PMC tertua. Di AS perusahaan yang bermarkas di Virginia ini seangkatan dengan Booz-Allen, Cubic, dan Kellog Brown & Root. Sementara untuk versi yang modern, AS punya Blackwater Security Consulting. Perusahaan inilah yang beberapa bulan lalu kehilangan empat pekerjanya di Fallujah, Irak. Mereka dibakar hidup-hidup oleh massa dan mayatnya digantung di tiang jembatan.
Didirikan oleh seorang mantan pasukan elit AL AS pada 1996, Blackwater adalah PMC terbesar dunia. Mereka punya fasilitas pelatihan (termasuk untuk perang kota) seluas 2.400 hektar di North Carolina. Letaknya tak jauh dari fasilitas elit milik AD AS di Fort Bragg. ”Tak ada persaingan diantara kami. Kami bahkan sering berlatih bersama,” begitu jawab seorang pimpinan Blackwater ditanya tentang apakah ada masalah akibat lokasi PMC yang saling berdekatan.
BERKACAMATA OAKLEY
Laiknya perusahaan yang bergerak di bidang yang kerap bersinggungan dengan kekerasan dan pelanggaran hak azasi manusia, mereka kerap dihujani kritik dari para LSM. Apalagi karena nyata-nyata dilarang menurut artikel 47 dari konverensi Jenewa. Tetapi siapa bisa mencegah kalu yang menghidupi mereka tak lain adalah pihak markas besar angkatan bersenjata.
Bertahun-tahun, Pentagon sebenarnya telah berusaha menutup-nutupi hubungan kerja yang kontroversial ini. Tetapi International Consortium of Investigate Journalists (ICIJ) akhirnya berhasil juga mengintip seberapa hebat nilai kontrak dalam bisnis perang ini. Pentagon, kata mereka, telah menyerahkan 3061 proyek kemiliteran senilai 300 triliun dollar kepada 12 dari 24 PMC yang bermarkas di AS.
Selain Blackwater, PMC asal AS yang juga sering kebanjiran rejeki adalah DynaCorp. Sebelum malang-melintang di HAITI, BOSNIA-HERZEGOVINA, TIMOR-TIMUR, dan AFGHANISTAN, belum lama ini mereka berhasil meraup 2 miliar dollar untuk melatih dan mempersiapkan polisi Irak. Begitu pun organisasi keras ini bukan hanya milik para americans. Inggris dan Afrika Selatan, misalnya, juga dikenal sebagai empu PMC tangguh. Jika Inggris memiliki Sandline International, Afrika Selatan (didukung AS dan Inggris) punya Executive Outcome. Pentolan dari kedua PMC inilah yang kabarnya membantu KOPASSUS dalam operasi pembebasan sandera di propinsi Papua pada 1996.
Selain uang faktor lain yang turut jadi pemicu pesatnya pertumbuhan PMC adalah banyaknya prajurit yang tiba-tiba harus “lepas seragam” pada awal dasawarsa 90-an. Kala itu, AS dan sejumlah negara maju memang pernah memangkas drastis jumlah personel AB-nya sebagai dampak berakhirnya Perang dingin. Sebagai gambaran, jika pada akhir dasawarsa 60-an AD AS saja memilika sampai 1,5 juta personel, pada 1992 jumlah itu sudah diciutkan menjadi setengahnya. Pada masa itu, bagi pemerintah AS proyek pemangkasan tersebut dinilai rawan gejolak. Maka dari itu Menhan Dick Cheney buru-buru cari jalan keluar. Dengan studi visibilitas berbiaya 9 juta dollar, sebuah rekanan (Halliburton Corp.*) mengusulkan badan usaha yang kemudian disebut sebagai PMC. Para prajurit yang pada dasarnya memang doyan perang pasti ayem, apalagi dengan gaji yang bisa terdongkrak hingga 10 kali lipat.
* dalam film Fahrenheit 9/11 karya Michael Moore, Halliburton Corp. Mempunyai hubungan dengan George Bush Sr. & George W. Bush dan juga salah satu perusahaan pertahanan terbesar AS yaitu United Defence dan juga berhubungan Hamid Karzai (presiden Afghanistan sekarang) yang dulunya merupakan salah satu “pejabat” di perusahaan minyak UNOCAL.
Dick Cheney, bahkan Presiden Bush, langsung kepincut. Halliburton pun segera diberi tambahan sebesar 2,5 miliar dollar untuk mendirikan markas elit di sebuah daerah yang dirahasiakan. Mereka berkolaborasi dengan Kellog Brown & Root, dan Cheney sendiri sempat jadi bos di perusahaan ini.
Pada dasarnya, setting para tentara swasta ini memang sebatas untuk dukungan militer. Tetapi siapa bisa mengontrol jika – akibat kelebihan yang disandang banyak diantara merekakemudian memperlihatkan tingkah yang berlebihan dan pongah. Jangankan terhadap warga lokal. Di mata prajurit reguler AS sendiri, mereka kerap menyebalkan. Tak sulit menemukan mereka di Baghdad, demikian kata seorang perwira AD AS. ”Sosoknya mudah dikenali dari postur tegap dan kacamata Oakley yang biasa menempel di wajah”, ujarnya menahan sebal. ”Sikapnya juga kerap mengundang perhatian. Dari balik kaca mobil, saya bahkan pernah diacungi moncong senapan. Maka, jangan heran jika penduduk setempat sering geram dibuatnya”, tambahnya.
Para pimpinan PMC semestinya telah berusaha memoles organisasi ini agar bisa tampak lebih manusiawi. Sayang, di lain sisi wajah-wajah angkuh dan garang para anggotanya masih begitu dominan. Oleh karena bayaran itulah sang majikan bisa menyuruh apa saja. Dari yang legal sampai tak legal (kerap disalahgunakan untuk teror, perdagangan obat bius, berbagai kasus penculikan gadis dan ank-anak, dan penyelundupan senjata gelap). Itu sebabnya, ketika PMC tumbuh sedemikian pesat dalam sepuluh tahun terakhir, tak berlebihan jika perkembangan ini disebut sebagai fenomena yang patut diwaspadai.
Dikutip dari majalah Angkasa seri Edisi Khusus “ Dirty War : Mesiu Dibalik Politik Dan Obat Bius”
Udah tau tentang Allen L. Pope agen CIA (dan juga tentara bayaran) yang membantu PRRI / PERMESTA ?!?! itu memang di masa lalu, tapi ada hubungannya dengan yang ini. Baca aja kutipan literatur dibawah ini.
Katakanlah dalam 1 dasawarsa terakhir ini, tentara bayaran telah mengambil-alih tugas kemiliteran di medan pertempuran yang jauh lebih luas dan signifikan dari yang ditangani prajurit reguler biasa. Mereka tak saja mengerjakan urusan pengiriman logistik, pelatihan militer, pemeliharaan perangkat perang, tapi sudah terlibat langsung dalam pengoperasianpesawat mata-mata dan operasi serbuan bersenjata. Di antara perusahaan yang kemudian dikenal sebagai Private Military Corporation(PMC) ”Contractor” ini bahkan sudah ada yang memiliki pesawat terbang dan kendaraan tempur sendiri.
Pendapatan dari “bisnis” perang ini mencapai lebih dari 30 trilliun dollar / tahun !! Hampir 15 kali pendapatan Bill Gates yang merupakan orang terkaya di dunia, dan mereka (PMC) bisa pasang tarif 1.500 s/d 2.000 dollar/hari.
Begitu luar biasa. Tak bisa dipungkiri faktor uang lah yang membuat perusahaan ini bak jamur di musim hujan. Jika pada 1994 tercatat hanya sekitar 30 perusahaan, kini di dunia jumlahnya telah membengkak sampai ratusan. Bagai mata air, uang memang begitu deras mengalir dari kontrak-kontrak asistensi pelatihan militer dan pertikaian tak kunjung henti di berbagai negara dunia ketiga Fakta tentang ini mulai tercium publik tatkala kasus pengeboman di sebuah instalasi militer Arab Saudi pad Mei 2003 terkuak. Sepuluh dari 91 korban tewas ternyata adalah tentara bayaran asal AS.
Mereka ternyata adalah orang-orang Vinnell Corp. Vinnel adalah PMC asal AS, pemegang kontrak ratusan juta dollar AS untuk proyek pelatihan puluhan ribu pasukan pengawal kerajaan (Saudi Arabian National Guard). Di negeri minyak ini, Vinnel mempekerjakan sekitar 40.000 orang, sebagian besar adalah pensiunan tentara dan personel intel AS. ”Sebagian besar adalah mantan (anggota) special force. Maka jangan heran kalau pasukan yang kami bentuk amat handal. Buktinya mereka bisa dengan cepat menguasai Khafji begitu kota ini dikuasai Irak dalam Perang Teluk lalu,” ujar salah seorang pelatih senior Vinnel Corp.
Pers pun terpancing untuk menguak lebih jauh, dan hasilnya ternyata jauh lebih mencengangkan, Vinnel Corp. Ternyata salah satu PMC besar di AS yang pernah dipimpin langsung Frank Carlucci, Menteri Pertahanan AS semasa pemerintahan Ronald Reagan. Perusahaan ini telah bekerja untuk kerajaan Arab Saudi sejak 1975, dan baru-baru ini telah merebut kontrak senilai 48 juta dollar dari Pentagon untuk membentuk pasukan inti AB Irak. Vinnel sendiri tergolong PMC tertua. Di AS perusahaan yang bermarkas di Virginia ini seangkatan dengan Booz-Allen, Cubic, dan Kellog Brown & Root. Sementara untuk versi yang modern, AS punya Blackwater Security Consulting. Perusahaan inilah yang beberapa bulan lalu kehilangan empat pekerjanya di Fallujah, Irak. Mereka dibakar hidup-hidup oleh massa dan mayatnya digantung di tiang jembatan.
Didirikan oleh seorang mantan pasukan elit AL AS pada 1996, Blackwater adalah PMC terbesar dunia. Mereka punya fasilitas pelatihan (termasuk untuk perang kota) seluas 2.400 hektar di North Carolina. Letaknya tak jauh dari fasilitas elit milik AD AS di Fort Bragg. ”Tak ada persaingan diantara kami. Kami bahkan sering berlatih bersama,” begitu jawab seorang pimpinan Blackwater ditanya tentang apakah ada masalah akibat lokasi PMC yang saling berdekatan.
BERKACAMATA OAKLEY
Laiknya perusahaan yang bergerak di bidang yang kerap bersinggungan dengan kekerasan dan pelanggaran hak azasi manusia, mereka kerap dihujani kritik dari para LSM. Apalagi karena nyata-nyata dilarang menurut artikel 47 dari konverensi Jenewa. Tetapi siapa bisa mencegah kalu yang menghidupi mereka tak lain adalah pihak markas besar angkatan bersenjata.
Bertahun-tahun, Pentagon sebenarnya telah berusaha menutup-nutupi hubungan kerja yang kontroversial ini. Tetapi International Consortium of Investigate Journalists (ICIJ) akhirnya berhasil juga mengintip seberapa hebat nilai kontrak dalam bisnis perang ini. Pentagon, kata mereka, telah menyerahkan 3061 proyek kemiliteran senilai 300 triliun dollar kepada 12 dari 24 PMC yang bermarkas di AS.
Selain Blackwater, PMC asal AS yang juga sering kebanjiran rejeki adalah DynaCorp. Sebelum malang-melintang di HAITI, BOSNIA-HERZEGOVINA, TIMOR-TIMUR, dan AFGHANISTAN, belum lama ini mereka berhasil meraup 2 miliar dollar untuk melatih dan mempersiapkan polisi Irak. Begitu pun organisasi keras ini bukan hanya milik para americans. Inggris dan Afrika Selatan, misalnya, juga dikenal sebagai empu PMC tangguh. Jika Inggris memiliki Sandline International, Afrika Selatan (didukung AS dan Inggris) punya Executive Outcome. Pentolan dari kedua PMC inilah yang kabarnya membantu KOPASSUS dalam operasi pembebasan sandera di propinsi Papua pada 1996.
Selain uang faktor lain yang turut jadi pemicu pesatnya pertumbuhan PMC adalah banyaknya prajurit yang tiba-tiba harus “lepas seragam” pada awal dasawarsa 90-an. Kala itu, AS dan sejumlah negara maju memang pernah memangkas drastis jumlah personel AB-nya sebagai dampak berakhirnya Perang dingin. Sebagai gambaran, jika pada akhir dasawarsa 60-an AD AS saja memilika sampai 1,5 juta personel, pada 1992 jumlah itu sudah diciutkan menjadi setengahnya. Pada masa itu, bagi pemerintah AS proyek pemangkasan tersebut dinilai rawan gejolak. Maka dari itu Menhan Dick Cheney buru-buru cari jalan keluar. Dengan studi visibilitas berbiaya 9 juta dollar, sebuah rekanan (Halliburton Corp.*) mengusulkan badan usaha yang kemudian disebut sebagai PMC. Para prajurit yang pada dasarnya memang doyan perang pasti ayem, apalagi dengan gaji yang bisa terdongkrak hingga 10 kali lipat.
* dalam film Fahrenheit 9/11 karya Michael Moore, Halliburton Corp. Mempunyai hubungan dengan George Bush Sr. & George W. Bush dan juga salah satu perusahaan pertahanan terbesar AS yaitu United Defence dan juga berhubungan Hamid Karzai (presiden Afghanistan sekarang) yang dulunya merupakan salah satu “pejabat” di perusahaan minyak UNOCAL.
Dick Cheney, bahkan Presiden Bush, langsung kepincut. Halliburton pun segera diberi tambahan sebesar 2,5 miliar dollar untuk mendirikan markas elit di sebuah daerah yang dirahasiakan. Mereka berkolaborasi dengan Kellog Brown & Root, dan Cheney sendiri sempat jadi bos di perusahaan ini.
Pada dasarnya, setting para tentara swasta ini memang sebatas untuk dukungan militer. Tetapi siapa bisa mengontrol jika – akibat kelebihan yang disandang banyak diantara merekakemudian memperlihatkan tingkah yang berlebihan dan pongah. Jangankan terhadap warga lokal. Di mata prajurit reguler AS sendiri, mereka kerap menyebalkan. Tak sulit menemukan mereka di Baghdad, demikian kata seorang perwira AD AS. ”Sosoknya mudah dikenali dari postur tegap dan kacamata Oakley yang biasa menempel di wajah”, ujarnya menahan sebal. ”Sikapnya juga kerap mengundang perhatian. Dari balik kaca mobil, saya bahkan pernah diacungi moncong senapan. Maka, jangan heran jika penduduk setempat sering geram dibuatnya”, tambahnya.
Para pimpinan PMC semestinya telah berusaha memoles organisasi ini agar bisa tampak lebih manusiawi. Sayang, di lain sisi wajah-wajah angkuh dan garang para anggotanya masih begitu dominan. Oleh karena bayaran itulah sang majikan bisa menyuruh apa saja. Dari yang legal sampai tak legal (kerap disalahgunakan untuk teror, perdagangan obat bius, berbagai kasus penculikan gadis dan ank-anak, dan penyelundupan senjata gelap). Itu sebabnya, ketika PMC tumbuh sedemikian pesat dalam sepuluh tahun terakhir, tak berlebihan jika perkembangan ini disebut sebagai fenomena yang patut diwaspadai.
Dikutip dari majalah Angkasa seri Edisi Khusus “ Dirty War : Mesiu Dibalik Politik Dan Obat Bius”